LUMINASIA.ID, MAKASSAR - Pemilik Hermin Salon dan Spa yang juga pemilik Nasi Tempong Hasanuddin Vivi AM Haryono, menyampaikan kekecewaannya terhadap pola pengasuhan dalam keluarga Tionghoa yang menurutnya memberikan perlakuan istimewa atau anak emas, kepada anak laki-laki.
Ia merasa bahwa budaya ini berdampak langsung terhadap kehidupannya, baik secara pribadi maupun profesional, terutama dalam relasi keluarga dan pembagian harta keluarga.
Sebagai anak sulung dari dua bersaudara, Vivi merasa perannya selama bertahun-tahun dalam membangun usaha Hermin Salon bersama ibunya kurang dihargai.
Sementara adiknya, justru memperoleh porsi lebih besar dari salon tersebut, pasca ibunya meninggal dunia, meskipun tidak pernah terlibat dalam usaha Salon Hermin.
"Saya yang bekerja keras, tetapi adik saya dan istrinya yang menguasai," ujarnya.
Kekecewaan itu, menurut Vivi, berakar dari budaya pengasuhan yang membesarkan anak laki-laki dengan nilai lebih tinggi dibanding anak perempuan.
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa dalam masyarakat Tionghoa, anak laki-laki dianggap lebih bernilai karena mengandung nilai-nilai dasar seperti kekuatan, kemakmuran, dan penghargaan.
Sebuah studi yang dimuat dalam Edulnovasi: Journal of Basic Educational Studies (Vol. 5 No. 1, 2025) menyebutkan bahwa kehadiran anak laki-laki dalam keluarga Tionghoa dipandang lebih berharga karena mengandung delapan nilai mendasar: nilai tradisi, keamanan, konformitas, kebajikan, kemakmuran, penghargaan, kekuatan, dan stimulasi (Stephanie & Yuwanto, 2025).
Pemahaman budaya ini turut membentuk pandangan orang tua dan pembagian peran dalam keluarga, yang dalam praktiknya kerap menempatkan perempuan pada posisi kurang diutamakan.
Ia juga menceritakan konflik yang melibatkan istri adiknya yang pada tahun 2023 disebut telah menyebarkan fitnah melalui pesan WhatsApp ke staf-staf Hermin Salon.
Hal lain yang disayangkan Vivi juga yakni ketika adik dan iparnya menyewakan ruko di samping ruko yang ia tempati, kepada usaha ayam juga.
Vivi juga menyatakan adanya tekanan untuk menandatangani dokumen pembatalan hak atas aset, serta kesulitan yang ia hadapi ketika membutuhkan dana untuk operasi mata.
"Salah satu masalah adalah saat adik menolak menandatangani penjualan tanah. Saat itu saya sangat butuh dananya untuk operasi mata saya yang nyaris buta. Adik hanya mau tandatangani jika Vivi menyetujui untuk tidak lagi menghubunginya lewat pesan singkat. Akibatnya, operasi mata yang sangat saya butuhkan tertunda selama tiga bulan,” paparnya.
Ia juga mengungkap akibat budaya ini rasa tidak adil atas aset-aset yang kini dikuasai adiknya, termasuk ruko, rumah, dan properti lain yang menurutnya berasal dari keringat dan kerja kerasnya selama puluhan tahun bersama sang ibu.
Vivi menuturkan bahwa meski dirinya yang menjalankan operasional salon, justru pihak lain yang kini menikmati hasilnya.
Ia mengaku telah memberikan banyak toleransi selama bertahun-tahun demi menjaga hubungan keluarga, namun merasa pengorbanannya tidak pernah dihargai. Bahkan uang tabungan sang ibu yang berasal dari omzet salon, kini juga berada dalam kendali JH.
Vivi menegaskan bahwa bila memang dirinya tak lagi dianggap sebagai bagian penting dalam keluarga, maka aset-aset yang dibeli dari dana Hermin Salon sebaiknya dikembalikan.
Ia menyebut ruko di Hasanuddin, rumah di Jalan Macan, serta rumah di Puri Mutiara sebagai bagian dari hasil kerja yang seharusnya mendapat perlakuan adil.
"Jika tidak ingin mengembalikannya pada saya, kembalikanlah kepada Tuhan. Jangan bermegah di atas keringat orang lain. Siri na pacce," ucapnya.
Melalui pernyataannya, Vivi berharap ada perenungan lebih dalam terhadap budaya pengasuhan yang menempatkan anak laki-laki secara istimewa. Ia menyebut pola ini dapat melukai anak perempuan, apalagi jika mereka turut berkontribusi secara nyata dalam membangun ekonomi keluarga.
"Budaya ini justru membuat hubungan antar saudara renggang dan saling menyakiti,” tutupnya