PERLAKUAN PAJAK ATAS TRANSAKSI ASET KRIPTO:
Tinjauan Kritis atas PMK Nomor 50 Tahun 2025
Oleh: Bayu Sanggra Wisesa, S.H., M.H., C.Med., CHCO., CIC.
Era transformasi digital telah melahirkan instrumen keuangan baru seperti aset kripto, yang kini menjadi bagian dari ekosistem keuangan global.
Di Indonesia, peningkatan volume transaksi kripto menimbulkan pertanyaan hukum mengenai perlakuan pajaknya.
Pemerintah resmi memberlakukan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 50 Tahun 2025 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2025 Nomor 548) yang mengatur perpajakan atas transaksi aset kripto.
Bagi sebagian pihak, ini adalah langkah maju negara dalam mengimbangi perkembangan ekonomi digital.
Namun, di sisi lain, kebijakan ini menimbulkan pertanyaan besar: Apakah pajak ini adil dan proporsional?
A. Apa yang Diatur dalam PMK Ini?
Secara garis besar, PMK ini menetapkan bahwa:
Transaksi kripto tidak dikenai PPN langsung, tetapi jasa pendukung seperti platform exchange, e-wallet, dan penambangan kripto dikenai PPN sebesar 12%.
Untuk Pajak Penghasilan (PPh), penjual aset kripto dikenakan tarif final 0,21% jika transaksi dilakukan di platform dalam negeri, dan 1% jika dilakukan di luar negeri yang belum ditunjuk otoritas.
B. Evaluasi Yuridis
Yang menjadi sorotan utama adalah skema PPh final berdasarkan nilai transaksi bruto, bukan keuntungan bersih.
Artinya, meskipun seseorang menjual aset kriptonya dalam keadaan rugi, ia tetap harus membayar pajak dari jumlah transaksi.
Ini tentu bertentangan dengan asas keadilan dalam hukum pajak, di mana kewajiban pajak seharusnya didasarkan pada kemampuan ekonomis (ability to pay).
• Asas Legalitas & Kewenangan Delegatif
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 50 Tahun 2025 ini sah secara hukum karena diturunkan dari Undang-Undang Perpajakan dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6845).
Namun, pengaturan yang terlalu rinci dalam peraturan menteri berpotensi melampaui fungsi teknisnya (ultra vires).
• Keadilan Fiskal
Pengenaan PPh final berdasarkan nilai transaksi bruto tanpa melihat laba riil berpotensi merugikan wajib pajak yang tidak memperoleh keuntungan.
Hal ini menyimpang dari asas ability to pay dan non-discriminatory taxation.
• Efektivitas Transaksi
Kewajiban administrasi kepada pelaku ekosistem digital (exchange, penambang, dan pengguna) sangat berat dan dapat menghambat partisipasi sektor informal.
• Risiko Duplikasi dan Ketidakharmonisan Internasional
Platform luar negeri dapat menjadi sarana penghindaran pajak jika belum ditunjuk Direktorat Jenderal Pajak.
Risiko pajak ganda juga muncul jika negara asal platform mengenakan pajak atas transaksi yang sama.
Tanpa perjanjian pajak digital internasional, ini akan memberatkan pelaku usaha lokal yang ingin ekspansi global.
“Jika seorang pemuda menjual Bitcoin-nya senilai Rp10 juta karena panik harga turun, padahal ia membelinya Rp15 juta.
Meski merugi, ia tetap dikenai PPh final 0,21% dari nilai transaksi tersebut.
Ini bukan sekadar beban fiskal, tapi bisa menjadi disinsentif bagi generasi muda yang ingin terlibat dalam ekonomi digital.”
C. Peluang Celah dan Arbitrase
PMK ini juga berpotensi membuka celah penghindaran pajak.
Platform luar negeri yang belum ditunjuk oleh otoritas pajak bisa menjadi pelarian para trader.
Tak hanya itu, beban administrasi pemungutan, pelaporan, dan penyetoran menjadi rumit untuk pelaku usaha kripto skala kecil.
D. Rekomendasi
-
Revisi sistem PPh final agar memperbolehkan opsi pelaporan berdasarkan laba riil untuk pelaku usaha tertentu.
-
Sosialisasi dan edukasi publik tentang aspek perpajakan aset digital.
-
Perlu kerja sama internasional untuk menghindari double taxation dan meningkatkan kepatuhan platform luar negeri.
-
Direktorat Jenderal Pajak sebaiknya mengeluarkan Surat Edaran Teknis sebagai panduan operasional implementasi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 50 Tahun 2025 ini.
E. Kesimpulan
PMK 50 Tahun 2025 merupakan langkah positif dalam merespons ekonomi digital.
Namun, tetap memerlukan reformasi dari sisi substansi dan teknis agar selaras dengan prinsip keadilan, kepastian, dan efisiensi dalam hukum pajak.
Penataan pajak aset digital tidak boleh semata-mata berorientasi pada pendapatan negara, tetapi juga memperhatikan kematangan industri digital nasional dan integrasi sistem hukum.