LUMINASIA.ID, MAKASSAR - Ketika sebagian besar orang memilih akhir pekan untuk bersantai, Andika Agung Prasetia justru melakukan hobinya trabas. Menantang dirinya menembus hutan, melintasi sungai, dan menaklukkan tanjakan curam dengan motor trail.
Trabas, dalam konteks kegiatan outdoor dan otomotif, mengacu pada kegiatan petualangan menggunakan motor trail atau motorcross di medan yang ekstrem dan menantang, seperti jalan berlumpur, berair, licin, dan banyak rintangan
Marcom Coordinator Hotel Mercure Nexa Pettarani ini telah menekuni hobi ekstrem tersebut selama lebih dari dua tahun.
Dandy, panggilan akrabnya, menyebut kegiatan trail ini bukan sekadar kegiatan melepas penat, tapi juga jalan untuk membangun koneksi, menjaga kebugaran, dan melatih keberanian.
“Trabas itu kombinasi antara tantangan fisik, teknik, dan mental. Kita nggak cuma duduk di atas motor, tapi ikut kerja keras,” ujarnya.
Ia pertama kali mengenal dunia trabas dari teman-temannya saat masih kuliah.
Beberapa di antaranya adalah anggota polisi dan camat yang aktif di komunitas trail.
Dari sana, ia mulai tertarik bergabung.
“Saya lihat seru, bisa kumpul, bisa bangun relasi. Akhirnya saya coba beli motor KLX, dan turun langsung ke jalur,” cerita Dandy.
Pengalaman pertamanya tak mudah. Ia sempat tertinggal di tengah hutan karena tidak sanggup menyelesaikan rute berat. Namun justru dari situ ia mulai belajar lebih serius.
“Sempat ditinggal waktu pertama ikut. Saya akhirnya mutar balik sendiri. Setelah itu saya rutin ikut, mulai dari rute sedang sampai ke jalur ekstrem di Malino” ucapnya.
Menurut Andika, medan trabas tak bisa ditebak. Mulai dari sungai berlumpur, kebun warga yang harus dihindari, hingga tanjakan berbatu yang tak bisa dilalui tanpa bantuan.
“Kita biasanya bawa tali buat narik motor di tanjakan curam. Sering nyaris terjatuh sehingga harus ditarik. Kadang harus digantikan joki yang lebih pro kalau tanjakannya ekstrem banget,” jelasnya.
"Kadang ada warga salah paham. Kita melintas dikira mau masuk ke area kebun. Pernah juga kami salah tidak sengaja melintasi kebun. Karena tidak terlihat seperti kebun. Akhirnya kita dikejar warga," sambung Dandy
Cuaca juga menjadi tantangan tersendiri. Saat hujan, jalur bisa licin dan motor harus benar-benar dikendalikan secara presisi.
“Kalau hujan, itu justru ujiannya. Kadang kita harus tunggu-tungguan, kadang juga harus putar arah karena nggak sanggup,” tuturnya.
Untuk menekuni hobi ini, Andika mengaku merogoh kocek tak sedikit. Sekali turun ke jalur, bisa habis Rp500 ribu hanya untuk bensin, perawatan, dan logistik.
“Sebelum dan sesudah trabas harus cek motor. Pelek, pengapian, gas spontan—semua harus aman. Motor juga biasanya di-loading ke lokasi biar nggak cepat rusak kalau lewat jalan aspal,” ungkapnya.
Biaya itu tentu diluar biaya beli motor, upgrade motor,pembelian appareal dan lainnya.
Menjalani hobi ekstrem tentunya tak lepas dari cedera. Dandy mengaku sempat mengalami lebam.
Meski sempat mengalami cedera, Andika tetap menjadikan trabas sebagai hobi utama. Bahkan lebam dan jatuh adalah bagian dari cerita.
“Saya pernah jatuh sampai biru kaki. Tapi itu biasa. Yang penting nyali tetap ada. Motor bisa bagus, tapi kalau kita nggak berani, nggak ada gunanya,” tegasnya.
Kini setelah berkeluarga dan semakin sibuk di dunia kerja, ia mengatur waktu agar tetap bisa menyalurkan hobi ekstremnya.
“Sekarang sih paling dua sampai tiga bulan sekali. Tapi tetap jalan, karena selain seru, ini juga olahraga yang menjaga stamina,” katanya.
Lebih dari sekadar petualangan, trabas bagi Andika juga menjadi wadah untuk membangun koneksi lintas profesi. Dalam komunitas trail, ia bertemu dengan banyak pihak dari pemerintahan, pengusaha, hingga aparat.
“Di sana kita ngobrol, bertukar ide, bahkan kadang bahas kerjaan sambil rehat di hutan. Relasi seperti itu nggak bisa dibangun di meja kantor,” ujarnya.
Dengan gaya hidup aktif dan semangat menantang batas, Andika membuktikan bahwa di balik kesibukan sebagai eksekutif perhotelan, ia tetap punya ruang untuk mengekspresikan diri dan menjaga keseimbangan hidup.
“Ini bukan cuma soal hobi, tapi soal keberanian, kedisiplinan, dan solidaritas. Karena di hutan, yang bantu kita bukan jabatan, tapi teman seperjalanan,” tutupnya.