LUMINASIA.ID, MAKASSAR – Perbedaan budaya, kerap menjadi tantangan tersendiri bagi pendatang yang bekerja di Makassar.
Salah satunya adalah perbedaan bahasa.
Ini juga yang dirasakan Corporate Communication Astra Motor Sulawesi Selatan (Asmo Sulsel), Benedicta Caroline Arunde, akrab disapa Dicta.
“Kita kos di mana?” cerita Dicta.
Ini adalah kalimat pertama yang bikin terdiam sejenak saat pertama kali menginjakkan kaki di Makassar.
Pertanyaan itu dilontarkan oleh driver kantor tempat ia kini bekerja, saat dijemput di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar, tepat ketika baru tiba di Makassar.
Bagi Dicta yang berasal dari Jambi, pertanyaan itu terdengar mengherankan, dan menakutkan.
“Dalam pikiran ini kenapa, baru kenal udah ngajak kos sama-sama. Sempat takut juga,” kenangnya sambil tertawa.
Belakangan ia baru tahu, dalam bahasa Makassar, kata “kita” berarti “kamu” dalam bentuk sopan.
Sementara dalam bahasa Indonesia, “kita” berarti “kamu dan saya”.
“Jadi sempat miskomunikasi, padahal maksudnya sopan,” ujarnya.
Dicta lahir di Jambi pada 6 Juli 2003 dan merupakan anak kedua dari dua bersaudara.
Lulusan Jurusan Komunikasi Universitas Brawijaya Malang ini tak pernah membayangkan akan memulai kariernya di Makassar.
Ia melamar program manajemen trainee di Astra Motor melalui proses seleksi dari kantor pusat di Jakarta.
“Sistemnya, kita daftar dulu, lalu baru ditentukan penempatannya.
Ternyata posisi yang sesuai dengan latar belakang komunikasi ada di divisi Corporate Communication di Astra Motor Sulawesi Selatan,” tuturnya.
Kesan Pertama: Jeruk Nipis & Bahasa
Selain bahasa, hal lain yang mengejutkan Dicta adalah kebiasaan kuliner di Makassar.
“Sebetulnya makanan Makassar saya cocok saja, karena orangtua saya asli Manado, tapi ada yang paling saya kaget.
Semuanya pakai jeruk nipis,” paparnya.
Meski demikian, salah satu yang paling berkesan adalah nasi goreng yang diberi perasan jeruk nipis.
“Awalnya heran, kok nasi goreng dikasih jeruk nipis? Tapi ternyata enak banget.
Sekarang tiap makan nasi goreng, rasanya kurang kalau nggak ada jeruk nipis,” katanya sambil tersenyum.
Meski sebelumnya pernah mencoba makanan khas Makassar di Jawa, tetap saja sensasinya berbeda saat menikmati langsung di kota asalnya.
Dicta menyebut makanan Makassar enak-enak dan cocok dengan seleranya.
“Paling suka makanan Makassar yang sudah saya coba itu pallubasa Serigala,” ceritanya.
Belajar Bahasa Lewat Ojek Online dan Warung
Dicta mengaku adaptasi bahasa menjadi tantangan tersendiri.
“Naik ojek online aja awalnya bingung, karena sopirnya langsung ngomong pakai logat lokal, cepat pula.
Sering terjadi miskom di awal-awal,” ujarnya.
Namun seiring waktu, ia mulai terbiasa dengan kosakata dan logat khas Makassar.
“Sekarang sudah ngerti kalau orang bilang ‘kita’, maksudnya bukan ngajak bareng, tapi memang cara sopan ngomong ‘kamu’ di sini,” jelasnya.
Di lingkungan kantor, ia merasa lebih mudah beradaptasi karena sebagian besar karyawan berasal dari berbagai daerah dan terbiasa menggunakan bahasa Indonesia.
Tapi saat ke mal atau makan di warung, ia tetap harus menyesuaikan diri.
“Dulu harus berkali-kali tanya, apa maksudnya ini.
Sekarang sudah mulai familiar.
Meskipun belum bisa balas pakai logat Makassar, setidaknya sudah ngerti,” imbuhnya.
Dari Jambi ke Ujung Timur Indonesia
Meski sempat kaget dengan penempatan ke Makassar, Dicta mengaku bersyukur karena pekerjaannya sesuai dengan yang ia harapkan.
“Sudah dua bulan di sini, dan pekerjaan sesuai dengan jobdesk.
Lingkungannya juga menyenangkan,” katanya.
Bagi Dicta, perjalanan dari Jambi ke Makassar bukan hanya soal pekerjaan, tapi juga tentang mengenal budaya baru dan belajar untuk lebih terbuka.
“Dulu nggak kepikiran sampai sini.
Tapi sekarang malah senang bisa merasakan pengalaman yang mungkin nggak semua orang dapat,” ujarnya.