Laporan jurnalis Geraldi Nugroho
TORAJA UTARA, LUMINASIA.ID — Pemuda Katolik Komcab Tana Toraja bersama berbagai organisasi kepemudaan dan Kelompok Cipayung menggelar peringatan 31 tahun wafatnya Brigjen TNI Frans Karangan di Taman Makam Pahlawan Buntu Lepong, Toraja Utara, Senin (23/6/2025).
Dipaparkan dalam rilisnya Kamis (26/6/2025) acara ini dihadiri Wakil Bupati Toraja Utara, Andrew Silambi’, serta sejumlah perwakilan dari PMKRI, GMKI, GMNI, dan Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI).
Peringatan dimulai pukul 17.00 WITA dengan menyanyikan lagu kebangsaan, hening cipta, dan refleksi perjuangan Frans Karangan.
Sosok yang dikenal sebagai pahlawan ini dikenang karena keberaniannya membela Toraja dari penindasan, khususnya saat menghadapi pasukan Batalyon 720 yang berada di bawah pimpinan Kapten Andi Sose.
Yulianus Lombe, anggota Dewan Pakar Pemuda Katolik Komcab Tana Toraja, menguraikan peran heroik Frans Karangan yang tidak pernah gentar berdiri membela rakyat Toraja dari penindasan.
Dalam buku Komandan Frans Karangan karya Sili Suli, tercatat bahwa sebagai Komandan Kompi II, Frans Karangan pernah melawan atasannya sendiri demi memperjuangkan nasib masyarakat Toraja dari tindak sewenang-wenang Batalyon 720.
Pada tahun 1953, Frans Karangan memimpin pasukannya untuk menyerang markas Batalyon 720 di Makale. Peristiwa yang dikenal sebagai Makale 1953 itu memaksa Andi Sose dan pasukannya meninggalkan Toraja, meski harus dibayar dengan pengorbanan jiwa dari pihak Toraja.
Namun, tantangan belum berakhir. Pada tahun 1958, ketika Batalyon 514 Brawijaya ditarik dari Toraja untuk menumpas Permesta, pasukan KDM-SST datang dan diduga membawa misi balas dendam atas peristiwa lima tahun sebelumnya. Mereka menyebarkan narasi bahwa kedatangan pasukan ini bertujuan menghancurkan pendukung Permesta, padahal para pemimpin Toraja telah menyatakan kesetiaannya kepada NKRI di hadapan Presiden Soekarno.
Kekhawatiran itu terbukti. Pada 15 Mei 1958, pasukan KDM-SST memulai intimidasi dengan mengancam warga di warung-warung makan sekitar Makale dan Rantepao. Puncaknya terjadi pada 19 Mei 1958, saat hari pasar di Makale, ketika Detasemen A KDM-SST melepaskan tembakan yang membuat masyarakat ketakutan. Teror itu terus berlanjut hingga memicu kembali semangat perlawanan rakyat Toraja.
Saat itu, Frans Karangan sedang bertugas di Palu, tetapi begitu mendengar situasi yang memanas, ia mengirimkan pasukan andalannya dengan alasan cuti untuk memimpin perlawanan bersama Barisan Komando Rakyat dan Organisasi Pagar Desa. Dengan strategi matang, perlawanan itu berhasil memukul mundur pasukan KDM‑SST dari Toraja, meski menelan banyak korban jiwa dan membawa kerugian harta benda yang signifikan. Mayat-mayat tentara penindas yang tumbang bergelimpangan di jalan, dan sisa pasukan yang selamat pun angkat kaki dari Toraja.
Yulianus Lombe menekankan bahwa sejarah ini bukan hanya soal peperangan, tetapi juga soal kegigihan Toraja dalam menjaga nilai adat, budaya, dan identitas sebagai sebuah suku bangsa. “Penderitaan, pengorbanan, dan keberanian para pahlawan ini menjadikan Toraja tetap berdiri sebagai entitas yang kuat hingga hari ini,” ujarnya.
Mengutip Presiden Soekarno, Yulianus mengingatkan bahwa “bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya.”
Ia menekankan bahwa peringatan 31 tahun wafatnya Frans Karangan harus menjadi momentum bagi generasi muda Toraja untuk terus menggelorakan semangat juang, menjaga nilai-nilai luhur daerah, dan memastikan Toraja tetap berdiri kuat hingga akhir zaman.
“Terima kasih, Sang Pahlawan kami, Komandan Frans Karangan. Jiwa dan ragamu telah engkau persembahkan untuk Ibu Pertiwi, khususnya Toraja yang sangat engkau cintai hingga akhir hayatmu. Beristirahatlah dengan damai di sisi Sang Pencipta,” tutup Yulianus dengan penuh haru.