LUMINASIA.ID, MAKASSAR - Sejumlah negara, termasuk Singapura, melaporkan peningkatan kasus chikungunya pada awal hingga pertengahan 2025.
Penyakit tropis ini disebabkan oleh virus chikungunya yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus, sama seperti penyebab demam berdarah dan virus Zika.
Meski jarang mematikan, chikungunya dapat menyebabkan demam tinggi, nyeri sendi hebat, ruam, hingga nyeri sendi kronis yang bertahan berbulan-bulan.
Di Singapura, hingga Juli 2025 tercatat 17 kasus chikungunya, meningkat dua kali lipat dibanding periode yang sama tahun lalu.
Sebanyak 13 kasus di antaranya merupakan kasus impor dari wilayah terdampak seperti Sri Lanka dan China, sedangkan tiga kasus lokal bersifat sporadis.
Singapura pernah mengalami dua wabah besar chikungunya, yakni pada 2008 (718 kasus) dan 2013 (1.059 kasus).
Sementara di Indonesia, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan tren kasus chikungunya cenderung menurun dalam dua bulan terakhir.
Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kemenkes, Aji Muhawarman, menjelaskan bahwa pada periode yang sama di 2023 dan 2024, kasus sempat melonjak akibat musim penghujan.
Hingga kini, belum ada lonjakan serupa pada 2025. Namun, Kemenkes menegaskan perlunya intervensi pengendalian vektor untuk mencegah potensi peningkatan kasus chikungunya.
Berdasarkan Surat Edaran Kemenkes Nomor HK.02.02/C/261/2025, pada Desember 2024 terdapat 571 kasus chikungunya di tujuh provinsi, tanpa laporan kematian.
Chikungunya dapat menyerang siapa saja, tetapi risiko lebih tinggi pada bayi baru lahir, lansia, dan penderita penyakit kronis seperti hipertensi, diabetes, atau jantung.
Gejala biasanya muncul 3–7 hari setelah tergigit nyamuk pembawa virus chikungunya, meliputi demam hingga 39°C, nyeri otot dan sendi, bengkak pada sendi, ruam kemerahan, sakit kepala, lemas, hingga mual.
Diagnosis chikungunya dilakukan melalui wawancara medis, pemeriksaan fisik, dan tes darah, termasuk tes ELISA untuk mendeteksi antibodi IgM dan IgG.
Hingga kini belum ada obat khusus untuk menyembuhkan chikungunya. Pengobatan hanya untuk meredakan gejala, seperti penggunaan parasetamol, ibuprofen, atau naproxen, disertai istirahat cukup dan asupan cairan yang memadai.
Komplikasi chikungunya jarang terjadi, namun dapat mencakup radang otak, peradangan jantung, hepatitis, hingga sindrom Guillain-Barré.
Untuk pencegahan, Kemenkes mengimbau masyarakat melakukan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dengan 3M Plus: menguras tempat penampungan air, menutup rapat wadah air, mendaur ulang barang bekas yang berpotensi menampung air, menaburkan bubuk abate, menggunakan obat anti-nyamuk, memasang kawat anti-nyamuk, memelihara ikan pemakan jentik, dan menjaga kebersihan lingkungan.
Bagi yang bepergian ke daerah endemik chikungunya, gunakan losion anti-nyamuk berkandungan DEET, kenakan pakaian lengan panjang, tidur dengan kelambu, dan hindari menggantung pakaian di ruang terbuka.