Luminasia, Makassar - Komunitas Budaya menggelar diskusi mengenai Kampung Jongayya. Acara dialog yang berlangsung Kamis 16 Januari 2025, sore itu, bertempat di Aula Rahim Assagaf Center (RAS), Jl. Baji Bicara No.7 Makassar. Dialog ini dimoderatori oleh Prof. Halilintar Lathief dan akan terus berlangsung selama setahun dan dilaksanakan setiap Kamis di tempat yang sama.
Dari diskusi tersebut diketahui bahwa di zaman penjajahan Belanda (era 1930-an), nama "Jongayya" dikenal sebagai kampung yang menakutkan. Setiap kali menyebut kampung itu, akan ada diksi peringatan seperti "Hati-hati, jai to kandalaq". Saat itu, kampung Jongayya banyak dihuni orang berpenyakit kulit yang disebut kusta (mycobacterium leprae).
Dalam diskusi tersebut dibahas bahwa menurut cerita, pada saat itu Pemerintah Kolonial bersama Raja Gowa menghibahkan tanah tersebutnuntuk mengucilkan (atau mengarantina) para penderita kust, yang berada di wilayah Jongayya, agar wabah penyakit itu tidak menyebar luas.
Dari diskusi ini kita mempelajari sisi "hitam" sejarah Kampung Jongaya. Namun di lembaran kisah yang lain, utamanya pada awal kerajaan, Kampung Jongayya adalah kawasan hutan yang dijadikan tempat para raja beserta keluarganya berlatih memburu rusa. Kemahiran berburu rusa (yang dalam Bahasa Bugis dan Makassar disebut Jonga) oleh orang-orang di zaman kerajaan Gowa, Bone dan Luwu adalah kebanggaan utama yang harus dimiliki para raja dan pewaris tahta kerajaan.
Menurut cerita Syeikh Sayyid A. Rahim Assagaf atau Puang Makka, yang merupakan tokoh agama dan salah seorang narasumber dalam dialog budaya pada Kamis 16 Oktober 2025, kawasan Jongaya merupakan tempat berkeliarannya rusa-rusa milik raja. Karena itu maka pihak kerajaan memagari wilayah tersebut dengan kawat. Hingga saat ini, di Kelurahan Jongayya masih ada nama Kampung Kawaq.
Pernik-pernik sejarah tentang Jongayya di masa silam terurai dalam Forum Dialog Budaya tersebut. Meskipun baru dialog yang pertama kali diadakan untuk direncanakan setahun ke depan, Forum ini cukup menarik karena menggali sejarah Kota Makassar. Beberapa Budayawan turut terlibat dalam Dialog ini, antara lain Prof. Andi Halilintar Latief, Andi Amrullah Syam, Ahmadi Haruna, Daèng Serang dan beberapa Budayawan lainnya. Dalam acara ini hadir pula Tokoh Masyarakat selaku Pembicara mendampingi Puang Makka yaitu Djoko Surojo dan Syamsul Bachri Daèng Anchu.
Sebagai pembicara, Djoko Surojo banyak mengulas hubungan kesejarahan antara pulau Jawa dengan Pulau Sulawesi, baik di bidang perdagangan maupun pada dimensi kebudayaannya. Idiom-idiom kultural seperti Sambung Jawa, Kanrè Jawa, Puru Jawa, Aju Jawa, Rappo Jawa, bahkan hingga Jawa Rantè; pasti menarik apabila ditelusuri makna semiotiknya dari aspek sejarah dan Budaya Bugis-Makassar.
Pembicara lain, yaitu Syamsul Bachri alias Daèng Anchu mencoba menjelaskan filosofi karaèng dari sudut linguistik sesuai adat yang berlaku di Makassar. Konon, asal-usul istilah karaèng berawal dari bahasa Arab yaitu karim, yang berarti mulia. "Terjadi proses idiolek atau morfofonemik dari kata karim menjadi karaèng dalam interaksi sosial masyarakat Arab dan Makassar" ujar Daeng Anchu. "Walau kita perlu melakukan riset lebih lanjut untuk informasi ini," tambahnya.
Istilah Projek Jongayya, sebagai cikal bakal pelestarian sejarah dan pengembangan budaya lokal di Makassar, maupun di Sulsel umumnya, penting diperjuangkan. Jongayya memiliki manik-manik sejarah kerajaan yang kaya dengan nilai kearifan leluhur Bugis-Makassar. Untuk bahan pemikiran ke depan, peserta dialog, diharapkan mendukung gagasan Jongayya Project sebagai ikonisitas Pemerintah Daerah Sulawesi Selatan dalam konteksasi Program Pemajuan Kebudayaan sesuai Undang-undang No. 5 Tahun 2017.
Laporan ditulis Dian Aditya Ning Lestari dengan bantuan Mahrus Andis.