LUMINASIA.ID - Kepala Divisi Edukasi, Hubungan Masyarakat, dan Hubungan Kelembagaan Kantor Perwakilan LPS III Makassar, Dadi Hermawan, pernah melewati pengalaman mendebarkan saat hobi mendaki gunung di masa mudanya.
Salah satu momen paling berkesan adalah ketika ia nyaris terperosok di jalur pendakian Gunung Rinjani, Lombok, tepatnya di kawasan terkenal yang disebut Tujuh Bukit Penyesalan.
Alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia angkatan 2008 ini mengingat peristiwa itu dengan jelas.
“Saya kalau nggak salah tujuh atau delapan orang. Saya lagi di depan, depan bertiga kan. Dua paling depan, saya kayak di tengah gitu. Nah yang depan ini kayak ini, biasa lah mau istirahat kan, ngajak, apa namanya, ngajak makan roti dulu, makan roti dulu,” ceritanya.
"Udah mau makan roti kan, carrier sama, saya bawa dua tas. Jadi kayak rear sama tas kecil di depan. Biasalah tas kecil di depan itu buat barang-barang HP, dompet, dan sebagainya. baik-baik saja Mau naik, wah ini kita taruh dulu aja deh di sini carrier-nya,” paparnya.
Saat beristirahat, rekannya memanggil untuk makan roti. Ia meletakkan carrier dan tas kecil di tepian jalur yang ternyata berbatasan langsung dengan jurang.
Tas kecil berisi dompet, ponsel, dan barang-barang penting itu awalnya diletakkan di atas carrier miliknya di tepian jalur berbatasan jurang, tak jauh dari tebing curam.
Ketika Dadi beristirahat sambil menyantap roti, tiba-tiba tas tersebut perlahan bergeser di atas carrier yang posisinya tidak stabil.
Tanpa disadari, tas kecil itu mulai meluncur, menggulir pelan mengikuti kemiringan tanah, lalu hilang ke arah tebing yang langsung menghadap jurang.
Gerakan tas yang jatuh terasa cepat, seakan ditarik oleh kemiringan tanah yang licin.
Dalam hitungan detik, tas itu menghilang di balik tepi jalur.
“Rasanya jantung mau copot waktu lihat tas itu jatuh. Semua barang penting ada di situ, termasuk KTP yang saya butuh untuk pulang.
Kalau hilang, saya bahkan nggak bisa naik pesawat balik ke Jakarta,” kenang Dadi.
Panik, Dadi bergegas mendekat dan melihat tas yang terjebak di area landai beberapa meter di bawah, tepat di bibir jalur yang menurun curam.
“Saya turun sendiri. Cari pegangan, lihat ada kayu, saya pegang. Rasanya kuat, saya pikir aman. Tapi waktu saya turun, kayunya patah dan saya langsung meluncur ke jurang. Semuanya putih, rasanya seperti kehilangan kendali,” kenangnya.
Beruntung, tubuhnya tersangkut di batang kayu lain sehingga terhenti sebelum jatuh lebih jauh. Ia sempat terluka karena tertusuk kayu, namun berhasil mencapai tasnya dan kembali naik ke jalur pendakian tanpa bantuan digendong.
Meski sempat nyaris celaka, Dadi tetap melanjutkan pendakian hingga ke puncak Rinjani.
"Dan berkesannya kenapa? Karena walaupun udah kayak gitu, masih tetap sampai puncak. Gak perlu digendong. Naik ke gunung itu memang kita harus kayak bareng sama teman-teman yang emang ya apapun kejadian yang kita hadapi di situ kayak mereka juga bantuin gitu ya,” ujarnya.
Terkait mendaki gunung ini, adalah hobi yang ia tekuni di masa akhir kuliah dan kerja, sebelum menikah.
"Semua atap Jawa sudah saya puncaki," ujar pria kelahiran Sumatera Selatan ini.
Tanpa Porter
Dadi mengenang masa mudanya sebagai pendaki gunung yang kerap menantang diri di berbagai jalur ekstrem. Ia menegaskan, bersama teman-temannya, mereka lebih memilih mendaki tanpa bantuan porter demi merasakan pengalaman mendaki secara utuh.
Menurutnya, membawa sendiri perlengkapan dan logistik saat mendaki memberikan sensasi yang berbeda. “Ada rasa kepuasan tersendiri ketika semua beban kita pikul sendiri, walaupun fisik harus benar-benar siap,” ujarnya
Dadi menambahkan, tanpa porter, perjalanan terasa lebih santai dan natural karena semua tahapan, dari jalur ringan hingga ekstrem, dilalui dengan kemampuan sendiri.
“Kalau ada porter kita ‘dipaksa’ mengikuti kemampuan porter. Ia membawa barang kita sufah jauh di depan, misalnya. Terpaksa kita harus ikut ke sana,” ncerita Dadi.
Meski begitu, Dadi mengakui bahwa keberadaan porter memiliki dua sisi.
Di satu sisi, mereka membantu pendaki yang kesulitan membawa beban, terutama di jalur berat. Di sisi lain, penggunaan porter juga memberi penghasilan bagi masyarakat lokal yang bekerja di jalur pendakian.

Kini Suka Travelling
Sejak bertugas di Sulawesi Selatan sebagai Kepala Divisi Edukasi, Hubungan Masyarakat, dan Hubungan Kelembagaan Kantor Perwakilan LPS III Makassar, Dadi Hermawan menjadikan traveling sebagai cara melepas penat dari rutinitas.
Dengan istri dan anaknya yang menetap di Jakarta, ia kerap mengisi waktu luangnya untuk menjelajahi destinasi-destinasi khas Sulsel.
“Saya sudah ke berbagai tempat. Di Maros saja sudah pernah ke Leang-leang, Rammang-rammang, sampai ke Dolli.” paparnya.
Salah satu pengalaman yang paling berkesan baginya adalah saat mengunjungi kawasan Taman Nasional Takabonerate, Kabupaten Selayar. Dadi menyebut destinasi ini menawarkan pesona laut yang menenangkan, jauh dari hiruk pikuk wisata populer.
“View-nya luar biasa, apalagi kalau snorkeling. Tapi yang paling berkesan bukan hanya lautnya, melainkan perjuangan untuk sampai ke sana,” ujarnya.
Perjalanan ke Takabonerate, kata Dadi, bukan hal yang mudah. Dari pusat Kabupaten Selayar, ia harus menempuh perjalanan laut sekitar lima jam menggunakan kapal kayu nelayan.
Fasilitas dasar seperti listrik dan sinyal telekomunikasi juga sangat terbatas. Meski demikian, pengalaman itu memberinya perspektif baru tentang semangat hidup masyarakat setempat.
“Di sana, meskipun serba terbatas, warganya tetap ceria dan anak-anaknya tetap bersekolah dengan segala keterbatasan. Mereka menikmati hidup apa adanya dan itu terasa menular ke pengunjung,” tambahnya.
Takabonerate sendiri, meskipun dikenal memiliki pemandangan bawah laut yang memukau dan kerap muncul di mesin pencarian sebagai salah satu surga tropis Indonesia, tidak seramai destinasi populer seperti Raja Ampat atau Labuan Bajo.
Menurut Dadi, akses yang sulit membuat kawasan ini tetap terasa eksklusif dan tenang bagi