Prabowo dan 1000 IDPs
Oleh: Cakra Achmad
Inisiator Global Volunteer Hub dan Pendiri Relawan Gemma 9
11 April 2025— Langkah Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, yang menyatakan niat untuk mengevakuasi 1.000 warga korban konflik dari Gaza menuai reaksi keras. Sejumlah kalangan menyambut dengan haru, sementara sebagian lainnya menolak dengan tudingan keras: bahwa langkah ini adalah bentuk tunduk pada kepentingan geopolitik Amerika Serikat dan Israel, yang secara sistematis ingin mengosongkan Gaza dari penduduk aslinya.
Kontroversi ini tak bisa dilepaskan dari carut-marut komunikasi politik yang menyertainya. Presiden dan timnya menggunakan istilah “evakuasi sementara”—sebuah terminologi yang justru membuka ruang tafsir liar. Di mata yang kontra, “sementara” berarti membuka jalan permanen bagi pengosongan Gaza. Di sisi lain, penggunaan narasi kemanusiaan yang lebih tepat seperti “penanganan darurat untuk korban terdampak” atau “dukungan kepada IDPs” seharusnya dapat meredam gelombang penolakan yang tak sepenuhnya berdasar itu.
Dalam kerangka kemanusiaan global, Internally Displaced Persons (IDPs) merujuk pada individu atau kelompok yang terpaksa meninggalkan rumah dan komunitasnya akibat konflik bersenjata, bencana alam, atau kekerasan, namun tetap berada dalam wilayah negara mereka sendiri. Di Gaza, yang sejak lama terkepung dan kini hancur akibat agresi militer, IDPs merupakan konsekuensi langsung dari krisis kemanusiaan yang akut. Mereka bukan pencari suaka, bukan pengungsi lintas batas; mereka adalah rakyat Palestina yang kehilangan tempat tinggal di tanah mereka sendiri.
Istilah IDPs bukan hanya nomenklatur teknis. Ia mengandung konsekuensi hukum dan moral: bahwa mereka tetap memiliki hak atas tanah airnya, hak untuk kembali, dan hak untuk dilindungi. Sayangnya, dalam konteks Gaza, istilah ini jarang digunakan oleh publik dan media, demikian pula komunitas kemanusiaan internasional menggunakannya “refugee” pengungsi, untuk menegaskan hak-hak IDPs rakyat Palestina yang terusir.
Ini bukan sekadar debat terminology. Mereka yang menolak langkah Presiden mungkin lupa: bahwa ribuan warga Gaza hari ini adalah anak-anak yatim, orang tua renta, korban luka berat, serta penyintas cacat permanen. Mereka tidak memiliki akses terhadap air bersih, perawatan medis, bahkan atap untuk berlindung. Dalam hukum humaniter internasional, mereka berhak mendapatkan perlindungan dan pertolongan segera—tanpa syarat.
Justru di sinilah peran negara seperti Indonesia menjadi penting: menghadirkan ruang aman sementara yang tetap menjunjung tinggi prinsip-prinsip kedaulatan Palestina. Dalam hal ini, evakuasi bersifat darurat—bukan pengusiran. Bila komunikasi presiden menggunakan pendekatan emergency humanitarian response for IDPs, alih-alih “evakuasi sementara”, debat berkepanjangan yang penuh prasangka ini mungkin tak akan muncul.
Adalah hak publik untuk mengkritik kebijakan negara. Namun penolakan terhadap langkah kemanusiaan harus dipikirkan ulang secara matang. Jangan sampai kita—secara tak sadar—ikut menghambat akses korban terhadap pertolongan darurat yang menyelamatkan nyawa. Bukankah kita selama ini menggugat dunia karena diam terhadap penderitaan Palestina? Ketika ada langkah aktif, mengapa justru kita ragu?
Perlu juga diingat, sejarah IDPs Palestina telah panjang: sejak Nakba 1948, ratusan ribu rakyat Palestina terusir dan kini hidup dalam pengasingan di Lebanon, Yordania, dan negara-negara lain. Karena status mereka sebagai “pengungsi” atau “refugee”, mereka kehilangan hak atas tanah asal. Padahal, seandainya dari awal mereka diakui sebagai IDPs, narasi hak untuk kembali akan tetap hidup dan kuat dalam bingkai hukum internasional.
Kita Tidak Boleh Terpecah
Israel dan sekutunya memang ahli dalam memainkan strategi pecah-belah. Jangan sampai, demi menjaga citra “anti normalisasi”, kita justru mengabaikan suara anak-anak yang kelaparan, atau ibu-ibu yang kehilangan tangan dan kaki. Mereka tak butuh polemik, mereka butuh pertolongan.
Langkah Prabowo bisa diperdebatkan dari sisi teknis dan politis. Tapi jika kita sepakat bahwa kemanusiaan tak boleh ditunda, maka membuka ruang aman untuk 1.000 korban bukanlah pengkhianatan—melainkan sebuah panggilan nurani. Free Palestine!