Luminasia, Bantaeng, 3 Mei 2025 — Persoalan jam kerja dan kekurangan pembayaran upah lembur menjadi sorotan utama dalam perundingan bipartit antara Serikat Buruh Industri Pertambangan dan Energi (SBIPE) dan Huadi Group yang berlangsung pada 30 April 2025. Pertemuan ini dihadiri oleh perwakilan Human Resource Development (HRD) dari perusahaan serta jajaran pengurus serikat.
Dalam agenda perundingan, terdapat dua isu pokok yang dibahas: perselisihan terkait Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan kekurangan pembayaran upah lembur bagi pekerja. SBIPE hadir mewakili anggotanya yang berasal dari dua unit perusahaan, yaitu PT Wuzhou dan PT Yatai.
Pembahasan dimulai dari permasalahan PHK. Serikat menyampaikan bahwa masih terdapat tujuh pekerja yang ingin tetap bekerja di perusahaan, meskipun telah menerima keputusan PHK. Menanggapi hal itu, pihak HRD Huadi menjelaskan bahwa saat ini perusahaan masih dalam proses pemulihan.
"Apabila perusahaan sudah membaik, maka buruh yang telah di-PHK dengan catatan tidak memiliki pelanggaran dan memiliki kinerja baik akan direkrut kembali," ujar Andi Adriani Latippa, perwakilan HRD Huadi.
Masalah lain yang mencuat adalah dugaan kekurangan pembayaran upah lembur. Perusahaan diketahui menerapkan sistem kerja shift selama 12 jam per hari, melebihi batas maksimal jam kerja yang ditetapkan undang-undang, yakni 8 jam per hari.
"Secara aturan, terdapat batasan jam kerja per hari, yakni 8 jam. Lebih dari itu harus dihitung sebagai lembur. Terdapat perbedaan upah antara jam lembur pertama dan kedua. Setelah kami hitung berdasarkan rekening koran milik para pekerja dan jam kerja aktual, kami menemukan selisih yang signifikan. Inilah yang kami tuntut untuk dibayarkan oleh perusahaan," tegas Abdul Habir, Sekretaris Jenderal SBIPE.
Pihak perusahaan mengakui adanya kekeliruan dan menjelaskan bahwa mereka telah melakukan penyesuaian. Saat ini, jam kerja dibatasi hanya 150 jam per bulan, dengan upah tetap disesuaikan dengan Upah Minimum Provinsi (UMP).
Langkah ini sekaligus menjadi pengakuan dari perusahaan bahwa sebelumnya telah terjadi kelebihan jam kerja, yang secara hukum mewajibkan pembayaran upah lembur kepada para pekerja sesuai ketentuan perundang-undangan.
Pendamping hukum dari YLBHI–LBH Makassar turut memberikan pernyataan tegas mengenai hak pekerja atas upah lembur yang belum dibayarkan.
"Buruh telah menguras keringat mereka untuk bekerja lebih dari jam kerja normal. Inilah dasar kuat agar perusahaan segera membayar upah lembur. Tidak membayarnya sesuai Undang-Undang merupakan pelanggaran pidana yang dapat dijatuhi sanksi," ujar Hasbi Assidiq, Koordinator Bidang Hak Ekosob.
SBIPE telah menyerahkan hasil perhitungan kekurangan upah lembur kepada pihak perusahaan. Kedua belah pihak sepakat untuk melanjutkan perundingan bipartit dalam waktu tujuh hari setelah pertemuan terakhir. Perusahaan akan memverifikasi data dengan mencocokkan hasil absensi harian para pekerja sebagai dasar validasi.